Alhamdulillah, seorang mukmin hendaknya selalu berupaya mencari pintu-pintu ampunan dan pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal bertemu dengan Allah swt. Seorang muazin harus memiliki kemurniat niat mengharapkan ridha-Nya, bukan untuk dipuji karena suaranya atau ingin mendapatkan sanjungan sebagai orang yang shalih. Seorang muazin juga harus menjaga shalatnya karena dia mengajak manusia dalam ketaatan dan ketakwaan, namun seorang muazin juga adalah manusia yang berproses untuk takwa bersama saudara-saudaranya yang mencari jalan ketakwaan.
Muazin, memiliki sunnah-sunnah yang harus dijaga untuk kesempurnaan adzan serta meraih pahala dan ampunan-Nya. Diantaranya hal-hal yang patut dimiliki muazin adalah sebagai berikut:
(1). Hendaknya ia berniat mencari keridhaan Allah swt., dan tidak mengambil upah dari adzan atau menyenangi pujian dan penghargaan manusia. Utsman bin Abul Ash berkata. “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai imam untuk kaumku!” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau menjadi imam bagi mereka. Perhatikanlah orang yang terlemah dari mereka (maksudnya, buatlah shalatmu tidak memberatkan bagi makmum yang lemah), pilihlah seorang muazin yang tidak meminta upah adzan.” (HR. Abu Dawud). Dalam hal ini, makruh muazin mengambil upah atas adzan.
(2). Muazin hendaknya dalam keadaan suci, baik dari hadats besar maupun hadats kecil saat mengumandangkan adzan. Hal ini sesuai hadits Nabi saw, diriwayatkan oleh Muhajir bin Qanfadz ra. bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya, “Sesungguhnya, aku tidak dilarang membalas salamnya, tetapi aku tidak suka mengingat Allah (berdzikir) kecuali dalam kondisi suci.” Jika seseorang muazin adzan dan belum berwudhu, hal itu diperbolehkan, tetapi makruh menurut pengikut madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali. Jika pendapat imam yang lain, hal itu diperbolehkan tanpa memakruhkannya.
(3). Saat mengumandangkan adzan, hendaknya muazin berdiri sambil menghadap kearah kiblat. Para ulama telah menyepakati tentang hal ini. Para muazin Rasulullah saw, adzan sambil berdiri dan menghadap kearah kiblat, jika tidak menghadap kiblat, hal itu dimakruhkan, namun adzan tetap sah.
(4). Hendaknya muazin menoleh ke arah kanan dengan kepala, leher dan dadanya ketika mengucapkan, ‘hayya ‘alash shalaah,’, lalu menoleh ke arah kiri pada saat mengucapkan, ‘hayya ‘alal falaah’, terkait hal ini, Imam Nawawi membenarkannya, karena Bilal juga melakukannya. Ini diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.
(5). Muazin hendaknya memasukkan dua jari tangannya ke dalam dua telinga, hal ini dilakukan Bilal saat mengumandangkan adzan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban. Hal ini sunnah dilakukan.
(6). Muazin hendaknya mengeraskan suaranya ketika mengumandangkan adzan meskipun dia hanya seorang diri di padang pasir, di tempat kerja yang asing, di hutan dan lain sebagainya. Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari.
(7). Pada saat mengumandangkan adzan, hendaknya muazin melambatkan ucapannya dan memisah antara dua kalimat dengan saktah (diam tanpa bernapas)/ada jeda, misalnya, ‘Allahuakbar saktah Allahuakbar’, dan ketika mengumandangkan iqomat, hendaknya dipercepat, hal ini disunnahkan.
(8). Muazin hendaknya tidak berbicara pada saat mengumandangkan iqamat. Jika pada saat adzan, berbicara dimakruhkan. Namun bicara saat adzan, Hasan (al-Bashri), Atha, dan Qatadah berpendapat bahwa hal itu merupakan keringanan dan diperbolehkan, tentu jika itu menyangkut pembicaraan penting.
Not Comments Yet " Sifat-Sifat Seorang Muazin yang Baik"
Post a Comment