Niat yang di lafadzkan, apakah ada perbedaan di kalangan ulama tentangnya? Mohon dijelaskan
Masih tentang niat. Rasulullah saw. bersabda, “Innamaal a’maalu binniy yati wainnamaa likullim ri in maa nawa” artinya; “Sesungguhnya (diterimanya) amalan perbuatan itu tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi saw. memulainya shalatnya dengan ucapan takbir, Allahuakbar! Dan bukan dengan ucapan lafadz- lafadz niat. Ibnu Taimiyah rahimallah mengatakan, “Niat tempatnya adalah di hati dengan kesepakatan para ulama, bila dia meniatkan dalam hatinya dan tidak mengucapkan di lisannya, maka niat tersebut mencukupi dengan kesepakatan mereka pula...” (Majmu Al-Fatawa).
Dalam masalah niat masih diperselisihkan, ada dua perkara di dalamnya, yaitu; (1). Melafadzkan niat shalat dengan suara yang lirih (dalam hal ini ada perbedaan di kalangan ulama), (2). Melafadzkan niat dengan suara yang keras (para ulama dalam hal ini sepakat bahwa tidak boleh melafadzkan niat dengan suara keras, tidak untuk imam (untuk mencontohkan), untuk makmum, ataupun shalat sendirian, dan tidak dianjurkan mengulang-ulang lafadz niat yang suaranya lirih. Yang jadi perselisihan hanya dengan lafadz niat dengan suara lirih, dianjurkan atau tidak?
Tentang perselisihan, yaitu lafadz niat yang diucapkan lirih. Sebagian ulama membolehkan dan dianjurkan yaitu untuk lebih memantapkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut madzhab Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy dalam Al-Mughni dan Ibnu Nujaim dalam Al-Asybah wa An-Nadhoir.
Sebagian ulama yang lain, tidak memperbolehkan karena termasuk kebid’ahan (menambah hal-hal baru dalam hal ibadah). Sebab tidak dinukil sedikitpun dari Nabi saw, para sahabat dan tabi’in tentang masalah ini, baik dalam shalat, bersuci ataupun dalam hal puasa. Melafadzkan niat termasuk perbuatan sia-sia, main-main.
Ibnu Qayyim dalam Zaadul Ma’ad ketika menerangkan masalah ini dan semisalnya menyatakan, “Ini adalah 10 kebid’ahan yang tidak dinukil oleh siapapun, baik dengan sanad shahih, dhaif, secara musnad maupun mursal, walau satu lafadz sekalipun, bahkan tidak dinukil oleh seorang sahabatpun, tidak pula dianggap baik oleh seorang tabi’in bahkan imam yang empat sekalipun.”
Sandaran mereka yang tidak memperbolehkan adalah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan tanpa contoh dari kami kami ia (amalan tersebut) tertolak.” (HR. Muslim).
Ini adalah pendapat Hanabilah (madzhab Hambali), Malikiyah, Al-Hanafiyah, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum, As-Sadlan dalam An-Niyyah. Pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran. Wallahua’lam bishawab.
Cool Other Article's:
Not Comments Yet "Niat yang di Lafadzkan"
Post a Comment