Tuesday, 19 November 2019

Bagaimana Bacaan Al Fatihah Makmum saat Shalat Berjamaah?


Saat ini, kita sering menemui perbedaan pendapat tentang bacaan Al-Quran makmum di belakang imam. Ada yang menyatakan bahwa makmum tetap membaca al-Fatihah walau imam sudah membacanya, dan ada yang menyatakan bahwa bacaan imam sudah mencukupi menggantikannya. Lalu, bagaimanakah Nabi saw. mengajarkan tentang hal ini?

Pada dasarnya, shalat tidak sah tanpa membaca surat al-Fatihah pada setiap rekaat dalam shalat fardhu dan shalat sunnah, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Walaupun demikian kewajiban membaca surah al-Fatihah gugur dari makmum. Ia diwajibkan berdiam dan mendengarkan bacaan imam dalam shalah jahriyyah (shalat yang bacaannya dikeraskan). Hal ini berdasarkan firman Allah swt.,
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah...” (QS. Al-A’raf [7]: 204). Juga berdasarkan hadits nabi Muhammad saw., “Apabila imam telah mengucapkan takbir, bertakbirlah. Apabila imam membaca Al-Qur’an, diamlah (untuk mendengarkan bacaannya).” (HR. Muslim, Ibnu Majah).

Hadits di atas dinilai shahih oleh Muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw., ‘Man kaa nalahu imaamun, faqaraa atul imaami lahuqiraa atun’ artinya, “Barang siapa yang bermakmum di belakang imam maka bacaan imam merupakan bacaannya juga.” (HR. Ibnu Majah). Namun hadits yang terakhir ini, dari Jabir disebutkan bahwa sanad hadits ini ada jabir al-Ja’fi, ia adalah seorang pembohong.
Maksud yang lebih jelasnya, bacaan imam dan makmum adalah sama ketika shalah jahriyyah. Di dalam shalat sirriyah (pembacaannya pelan), makmum tetap diwajibkan membaca (surah al-Fatihah) sebagaimana ia diwajibkan membacanya dalam shalat jahriyyah jika ia tidak dapat mendengar bacaan imam.

Abu Bakar Ibnu Arabi berkata, “Pendapat yang kita unggulkan adalah (makmum) diwajibkan membaca (al-Fatihah) dalam shalat sirriyah berdasarkan keumuman hadits (yaitu al-Fatihah wajib dalam shalat). Adapun dalam shalat jahriyyah (seorang makmum) tidak diwajibkan membacanya karena tiga hal; pertama, tidak membaca (al-Fatihah) dibelakang imam, karena ini merupakan perbuatan penduduk Madinah. Kedua, hal itu telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Allah swt. Berfirman, “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah...” (QS. Al-A’raf [7]: 204) Ketetapan Al-Qur’an ini diperkuat oleh dua hadits Nabi saw. Hadits pertama, riwayat Imran bin Hushain bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku tahu (ada makmum yang membaca sabbihisma rabbikal a’a di belakang Nabi) bahwa ada seseorang dari kalian yang mengacaukan bacaanku.” (HR. Muslim dan Ahmad). Hadits yang kedua adalah sabda beliau, “Apabila (imam) membaca Al-Qur’an, diamlah kalian.

Ketiga, seorang makmum tidak dapat membaca al-Fatihah di belakang imam. (jika dapat),  kapan ia membacanya? Jika dikatakan bahwa ia membacanya pada saat imam berdiam sebentar (setelah membaca surah al-Fatihah), kami menjawab bahwa diam itu tidak diharuskan bagi imam.

Bagaimana mungkin sesuatu yang fardhu (membaca surah al-Fatihah) digabungkan dengan sesuatu yang tidak fardhu (berdiam)? Terlebih lagi, kami telah menemukan cara membaca yang tepat (bagi makmum) yaitu membaca dengan hati melalui tadabbur (memahami kandungan Al-Qur’an) dan tafakkur (memikirkan kandungannya). Hal ini merupakan aturan Al-Qur’an dan hadits. Juga merupakan hal dapat kita lakukan untuk menjaga (kekhusyuan) ibadah. Ini pun merupakan salah satu bentuk perhatian kita terhadap tuntunan sunnah Nabi saw. dan pengamalan terhadap pendapat yang unggul.” Demikianlah kata-kata Ibnu Arabi.

Pendapat tersebut juga dipilih oleh Zuhri dan Ibnu Mubarak. Ini pun merupakan pendapat Imam Malik dan Ishak. Juga didukung oleh Ibnu Taimiyah.

Monday, 18 November 2019

Perhatian! Inilah Aurat Laki-Laki dan Perempuan saat Shalat, Jangan Salah Ya

Perhatian! Inilah Aurat Laki-Laki dan Perempuan saat Shalat, Jangan Salah Ya
Aurat yang wajib ditutupi oleh seorang laki-laki berbeda dengan batasan aurat bagi perempuan. Bagi laki-laki saat melaksanakan shalat adalah kemaluan depan dan belakang. Tentang paha, pusar dan lutut masih terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan dengan perpedoman pada hadits-hadits shahih bahwa paha, pusar dan lutut bukanlah aurat.

Namun demikian, ada dua hadits yang menyebutkan bahwa paha termasuk aurat bagi laki-laki. Hadits-hadits yang menyebutkan paha bukan aurat, terlihat ketika Nabi saw. berada di rumah, saat peperangan Khaibar, dan suatu saat saat menepuk paha Abu Dzar ketika memberikan nasehat. Sedangkan shalat merupakan ibadah berjamaah, kurang sopan ketika kita memperlihatkan paha, pusar, dan lutut, karena Rasulullah saw., pernah menutupi pahanya saat Utsman ra., datang karena malu kepadanya, dan kita tentu lebih malu kepada Allah ‘azza wa Jalla.

Bukhari berkomentar, “Sanad hadits yang diriwayatkan oleh Anas adalah lebih shahih (saat perang Khaibar, Rasulullah saw mengangkat kainnya hingga pahanya terlihat), sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Jarhad (Rasulullah saw. bersabda untuk menutupi kedua pahanya karena paha adalah aurat) mengesankan sikap yang lebih hati-hati.”
Hal ini harus menjadi teladan bagi kita, dan sikap kehati-hatian kita, sebaiknya kita lakukan. Wilayah yang masih diperdebatkan, hendaknya kita mengambil kehati-hatian, sehingga sebaiknya kita menutupi paha, perut, dan pusar kita saat shalat. Karena hal itu lebih dekat kepada ketenangan dan kemaslahatan.

Adab kesopanan juga mengajarkan kita untuk memakai pakaian yang sempurna saat melaksanakan shalat, sebagai wujud kesungguhan kita dalam berhadapan dengan Allah swt., kecuali memang keadaan terpaksa dan hanya kain itulah yang dimilikinya. Berhadapan dengan orang penting saja, kita harus rapi dan lengkap berpakaian, kenapa berhadapan dengan yang Mahapenting, kita tidak melakukan yang lebih baik. Allah Mahaindah dan mencintai Keindahan, subhanallah, kita belajar untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya ketika hendak menghadap Allah swt.

Bagi wanita, batas auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Allah swt. berfirman, “...Dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat...” (QS. An-Nuur [24]: 31). Hal ini juga sesuai dengan hadits shahih bahwa Allah tidak menerima shalat wanita yang  sudah baliq yang tidak mengenakan kerudung.
Ummu Salamah berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Nabi saw., ‘Bolehkah seorang wanita mengerjakan shalat dengan mengenakan baju panjang kerudung tanpa mengenakan kain?’ Beliau menjawab, “Ya. Apabila baju panjang itu menutupi bagian atas kedua telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud).

Abu Hurairah ra. meriwayatkan Bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya bolehkah memakai satu pakaian ketika shalat. Lalu, beliau menjawab dengan pertanyaan, “Apakah setiap orang dari kalian memiliki dua pakaian?” (HR. Muslim). Seorang muslim disunnahkan mengenakan dua pakaian, bahkan lebih dari dua lebih disukai. Juga disunnahkan berhias selama hal itu memungkinkan. Sebagaimana hadits Nabi saw.;

“Apabila salah seorang dari kalian hendak mengerjakan shalat, hendaknya ia mengenakan dua pakaiannya karena ia lebih layak berhias untuk menghadap Allah. Jika ia tidak memiliki dua pakaian, hendaknya satu pakaian yang ia miliki itu digunakan sebagai kain (penutup bagian bawah tubuh, dari pusat sampai bawah lutut). Janganlah salah seorang dari kalian berselimut dengan kain dalam shalatnya seperti kaum Yahudi berselimut dengan kainnya.” (HR. Abu Dawud).

Hati-Hati! Inilah Syarat - Syarat Sah dalam Shalat, Jangan Lupa Ya

Shalat merupakan ibadah inti, komunikasi hamba dengan Allah, dan merupakan ketenangan dari keruwetan hidup yang penuh ujian dan cobaan.
Shalat memiliki syarat-syarat sah yang harus dipenuhi, jika tidak maka batallah shalat seorang hamba. Syarat-syarat sah shalat itu diantaranya adalah sebagai berikut;

(1). Mengetahui masuknya waktu shalat. Dalam pembahasan di awal, kita sudah mengetahui tentang hakikat-hakikat waktu shalat, dan sekarang dipermudah dengan beredarnya jadwal-jadwal waktu shalat yang ada di masjid-masjid. Alhamdulillah. Hal ini juga dimudahkan dengan suara muazin yang menandakan bahwa waktu shalat telah tiba. Hal ini menimbulkan keyakinan bahwa waktu shalat tiba, baik dari orang lain maupun dari diri sendiri, lalu seorang hamba melakukan shalat wajib.
(2). Suci dari hadats kecil dan hadats besar.
Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah...” (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).

Rasulullah saw. bersabda, “Ahdatsa hatta yatawadh dha’” yang artinya, ‘Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian yang berhadats sampai ia berwudhu.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi saw juga bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra., “Allah tidak menerima shalat (seorang hamba) tanpa bersuci terlebih dahulu. Dia juga tidak menerima sedekah (seorang hamba) dari harta curian.”
Begitu pentingnya wudhu, dalam hal ini suci dari hadats kecil dan besar, karena shalat seseorang tidak diterima seperti tidak diterimanya sedekah dari hasil uang yang haram mencarinya. Maka, bersuci dalam hal ini menjadi wajib sebagai syarat pelaksanaan sahnya shalat.

(3). Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis yang dapat diindra. Hal ini adalah ketentuan syariah. Namun apablia tidak dapat menghilangkan najis itu (dari badan, pakaian, atau tempat shalatnya = misalnya keadaan terpaksa dan kesusahan yang sangat), ia diperbolehkan mengerjakan shalat dengan badan, pakaian, atau tempat yang terkena najis itu dan tidak wajib mengulangi shalatnya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa ada tiga hal yang wajib disucikan (terlebih dahulu sebelum mengerjakan shalat), yaitu badan, pakaian, dan tempat shalat. Sebagaian ulama lainnya berpendapat bahwa suci badan, pakaian, dan tempat shalat merupakan syarat sahnya shalat. Pendapat lain mengatakan bahwa hal itu sunnah, namun pendapat yang benar adalah hal itu merupakan kewajiban.

(4). Menutup aurat. Allah swt. berfirman, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid...” (HR. Al-A’raf [7]: 31). Maksud dari ayat ini adalah menutupi aurat manusia setiap kali mengerjakan shalat. Salamah Ibnu, aku bertanya, “Wahai Rasulullah saw., bolehkah aku mengerjakan shalat dengan mengenakan satu baju?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, kancingilah bajumu itu meskipun dengan duri.” (HR. Abu Dawud).
Menutup aurat adalah kewajiban seorang hamba yang mengerjakan shalat; baik laki-laki maupun perempuan.
Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Laa yaqbalullaahu shalaata haa idhin illaa bikhimaa rin,” artinya, ‘Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah balig yang tidak mengenakan kerudung.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan bahwa menutup aurat saat melaksanakan shalat adalah suatu kewajiban sebagai syarat sahnya shalat.

(5). Menghadap kiblat. Para ulama sepakat bahwa orang yang mengerjakan shalat wajib menghadap ke arah Masjidil Haram, berdasarkan firman Allah swt., “... Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkan-lah wajahmu ke arah itu...” (QS. Al-Baqarah [2]: 144).

Semoga bermanfaat, Wallahua'lam bishawab

Mana Perintahnya Shalat Wajib 5 Kali Sehari Semalam?

Bukti shalat lima waktu

Semoga menambah wawasan kita dimana ada yang ragu kenapa shalat sehari semalam ada lima waktu dan mana dalilnya. Semoga bermanfaat.

Shalat fardhu (wajib) terdiri dari lima shalat dalam sehari semalam.[1] Shalat lima waktu yang wajib, kecuali jika ingin menambahnya yaitu shalat sunnah.[2]
Setiap shalat memiliki waktu tertentu dimana ia harus dilaksanakan. Allah swt. berfirman tentang hal tersebut, “Sungguh, shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4]:103). Artinya, shalat adalah kewajiban yang sangat jelas, kewajiban yang ada di dalam Quran, yang juga menjelaskan terperinci waktu-waktunya.

Tentang terperincinya waktu, Abdullah bin Amru bercerita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Waktu dzuhur adalah saat matahari tergelincir dan bayang-bayang  seseorang seperti dirinya sendiri, selagi waktu ashar belum tiba. Sedangkan waktu ashar (berakhir) adalah saat matahari telah memerah. Waktu shalat maghrib (masih ada) selama awan merah belum sirna. Waktu isya (memanjang) hingga pertengahan malam, dan waktu shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab matahari itu terbit antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim, kitab al Masajid).

Waktu shalat Dzuhur, dari hadits di atas, kita mengetahui bahwa waktu dzuhur dimulai sejak tergesernya matahari dari pertengahan langit (tengah hari) dan berakhir saat bayang-bayang menjadi sepanjang sesuatu aslinya. Namun demikian, disunnahkan untuk mengakhirkan shalat dzuhur dari awal waktu (ketika panas benar-benar menyengat – musim panas yang sangat), agar kekhusyuan tetap terjaga dan tidak terburu-buru.

Waktu shalat Ashar, waktu shalat ashar dimulai ketika bayang-bayang benda telah menjadi seperti bentuk aslinya, dan berakhir hingga matahari terbenam ke arah barat. Abu Hurairah ra., bercerita bahwa Rasulullah saw, bersabda;
“Barang siapa yang masih bisa melaksanakan satu rekaat ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah melaksanakan shalat tersebut tepat waktu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal tersebut tentunya, bukan hal yang disengaja, melainkan karena ada uzur yang membuatnya shalat di akhir waktu. Karena mengakhirkan shalat ashar hingga matahari menjadi kekuning-kuningan, meski hal tersebut diperbolehkan, hal itu tetap makruh jika dilakukan tanpa alasan. Anas ra., bercerita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “itu adalah sahalatnya orang munafik; duduk dan hanya memerhatikan matahari. Ketika matahari sudah berada di antara dua tanduk setan, ia bangkit dan melaksanakan shalat empat rekaat. Ia tidak berzikir kepada Allah, kecuali sedikit.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Waktu shalat Maghrib, waktu shalat maghrib dimulai sejak matahari terbenam dan malam datang hingga mega merah menghilang. Abdullah bin Amru ra. bercerita  bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Waktu shalat maghrib adalah ketika matahari terbenam, sebelum mega (merah) sirna hilang.” (HR. Muslim).
Saib bin Zaid bercerita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ummatku akan senantiasa di dalam fitrah (kesucian), selama mereka melaksanakan shalat maghrib sebelum bintang-bintang muncul.” (HR. Ahmad). Salmah bin Akwa’ juga bercerita bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat maghrib ketika matahari terbenam dan malam mulai datang. (HR. Bukhari dan Muslim). Shalat maghrib sebaiknya di awal waktu ketika matahari terbenam dan malam mulai datang, sebelum bintang-bintang bermunculan.

Waktu shalat Isya, shalat Isya dimulai dari hilangnya mega merah hingga pertengahan malam. Aisyah ra. berkata bahwa para sahabat melaksanakan shalat isya mulai dari hilangnya mega merah hingga sepertiga pertama dari malam. (HR. Bukhari).

Abu Hurairah ra. bercerita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Andai aku tidak merepotkan umatku, niscaya aku perintahkan kepada mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga waktu sepertiga malam atau pertengahan malam.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Namun, karena Nabi saw. tidak ingin merepotkan kita sebagai umatnya, maka shalat isya dilakukan di awal sehingga memudahkan untuk dapat beristirahat setelahnya. Subhanallah.

Waktu shalat Subuh, shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Seperti dijelaskan oleh hadits di awal. Dianjurkan untuk menyegerakan shalat subuh, melaksanakannya di awal waktu. Mengingat batas waktu shalat subuh yang memang pendek, berbeda dengan waktu shalat yang lainnya.



[1] HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi, dan Nasa’i.
[2] HR. Bukhari dan Muslim