Setiap negara memiliki petunjuk-petunjuk
tersendiri untuk mengetahui arah kiblat (ka’bah). Diantaranya adalah
mihrab-mihrab yang dibuat kaum muslimin di dalam masjid-masjid yang ada di
sekitar kita yang menunjukkan arah kiblat dengan jelas. Lalu, bagaimana orang
yang tidak mengetahui arah kiblat?
Orang yang tidak mengetahui
arah kiblat misalnya karena langit sedang mendung atau karena suasana demikian
gelap, ia wajib bertanya kepada orang lain yang dapat menunjukinya arah kiblat.
Apabila tidak ia jumpai, atau ditempat terpencil, dia diperbolehkan berijtihad
(berupaya dengan keyakinan menyimpulkan sendiri arah kiblat), lalu mengerjakan
shalat menghadap arah kiblat tersebut. Hukum shalat demikian adalah sah, dan ia
tidak wajib mengulanginya meskipun terbukti ia salah (dalam ijtihadnya),
setelah selesai mengerjakan shalatnya.
Jika kesalahannya terlihat
ketika dia sedang melakukan shalat, ia harus berputar arah untuk menuju arah
kiblat yang benar dan tidak perlu memotong shalatnya (langsung meneruskannya).
Lalu, bisakah kewajiban menghadap
kiblat dalam shalat gugur kewajiban? Tidak ada gugur dalam hal kewajiban shalat
menghadap kiblat, kecuali kondisi-kondisi yang tidak memungkinkannya. Misalnya,
(1). Orang yang shalat dalam kendaraan. Arah kiblatnya adalah arah
kendaraannya, dimana posisi sujud lebih membungkuk daripada posisi rukuknya.
Amir bin Rabi’ah berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mengerjakan
shalat di atas hewan tunggangannya. Beliau menghadap ke arah yang dihadap oleh
hewan tunggangannya itu” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari menambahkan,
“Beliau saw. mengisyaratkan (rukuk dan sujud) dengan kepalanya. Beliau tidak
pernah melakukan hal demikian pada saat mengerjakan shalat fardhu.” Hal ini
dilakukan Nabi saw. saat meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Ini terkati dengan
ayat, “...kemana pun kamu menghadap di
sanalah wajah Allah...” (QS. Al-Baqarah [2]: 115).
Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah
cerita tentang (shalat di atas kendaraan yang dilakukan oleh) para sahabat dan
tabi’in secara umum, baik dalam kondisi tidak bepergian (jauh) maupun dalam
kondisi bepergian jauh. Lalu, bagaimana jika perjalanan panjang yang
menghabiskan puluhan jam, atau berhari-hari? Maka, shalat fardhu bisa dilakukan
di kendaraan, jika memang tidak berhenti dipemberhentian saat shalat-shalat
fardhu ditunaikan. Wallahua’lam bishawab.
(2). Shalatnya orang yang
dipaksa, orang yang sedang sakit, dan orang yang sedang dalam keadaan takut.
Orang takut, orang yang dipaksa, orang yang sedang menderita sakit
diperbolehkan mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat jika mereka
benar-benar tidak dapat menghadap ke arahnya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi
saw.,
“Apabila aku telah memerintahkan kalian, laksanakanlah perintahku itu semampu kalian.” (HR. Bukhari).
Juga dalam firman Allah swt., “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah
sambil berjalan kaki atau berkendaraan...” (QS. Al-Baqarah [2]:239). Terkit
dengan firman Allah tersebut, Ibnu Umar ra. menafsirkan, “Yaitu dengan
menghadap kiblat atau tidak menghadapnya (diperbolehkan)” (HR. Bukhari).
Hal ini menunjukkan akan
kemudahan dalam agama ini, sebagai agama yang lurus dan mengetahui fitrah serta
kebutuhan-kebutuhan hamba-Nya. Dan semoga kita dapat menjadi hamba-hamba yang
selalu bersyukur dengan selalu memelihara ketaatan dan ketakwaan kepada Allah
Yang Esa. Amin.
Not Comments Yet "Shalat tapi Tak Paham Arah Kiblat saat Bepergian?"
Post a Comment