Lebaran Pertama tahun 2015 ini saya lebaran di rumah Bapak dan Ibu saya, sudah sejak tahun 2009 saya tidak berlebaran hari pertama di kampung saya. Sudah lama sekali, biasanya saya datang pada lebaran ketiga atau lebaran ke-lima karena tahun-tahun sebelumnya saya masih di Jogyakarta atau karena ada kendala yang menyebabkan saya tidak bisa lebaran di hari pertama bersama Ibu saya. Saya datang membawa tiga pasukan, istri dan dua anak saya.
Tapi, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Ada
serpihan-serpihan kisah yang membuat saya merasa ada di dunia yang berbeda, merasa seperti keadaan yang serba singkat, merasa seperti kehilangan serpihan-serpihan dari kisah masa lalu saya.
Ya, saya terus memikirkannya. Ada ibrah/pelajaran yang membekas dan mungkin jika kita sama-sama menelisik kisah hidup kita, akan sama dengan kejadian-kejadian yang saya alami.
Kisah-kisah ini saya rangkum dalam uraian-uraian yang insyaallah tidak membuat anda pusing memahaminya.
Kenangan saat sekolah dasar memang selalu membekas, ada teman saya wanita sebut saja namanya Titi (samaran). Ya, zaman saya dahulu tahun 1990 hingga 1998-an yang saya ketahui adalah adanya saling menaksir, tetapi tidak berani pacaran. Dahulu, banyak anak SD yang tidak berani pacaran karena memang orang tua melarangnya, bukan karena alasan agama. Dan, memang saat itu di tempat saya rata-rata 99% tidak ada yang pacaran anak SD.
Kembali ke Titi, dia anak yang pintar, peringkat di kelas kalau tidak dua biasanya tiga. Ya, Titi memiliki wajah yang bersih dan cantik walau masih SD, banyak teman-teman yang menaksir dia bahkan ada yang ribut gara-gara dia, karena tidak mau disaingi dan ingin menjadi suaminya nanti ketika dewasa. Hari-hari berlalu, setelah lulus saya sekolah di SLTP/SMP luar Kecamatan, tak lagi bertemu Titi sahabat baik saya itu, karena kita sering mewakili sekolah saat ada lomba-lomba sehingga saya kenal baik dengan dia.
SMA saya sekolah lebih jauh lagi di Kota Metro, setelah itu saya kuliah dan tak tahu lagi kabarnya. Saat selesai kuliah pun, saya lanjut lagi S2 ke Jogyakarta. Hingga saat lebaran itu, saya tahu kabarnya bahwa dia telah tiada di dunia lagi, meninggal saat melahirkan anaknya yang pertama. Titi telah tiada beberapa tahun lamanya, sekitar tahun 2006 saat usianya sekitar 20-an tahun. Satu temanku saat SD, seumuran denganku sudah pergi ke Allah Ta’ala.
Itu kisah Titi, Beda lagi dengan Tono (nama samaran). Tono adalah teman mainku saat SD, kami selalu bersama, bahkan saat istirahat sekolah, kita selalu pulang untuk makan dan ngemil jajan karena di rumahnya warung dan saya selalu gratis makan bersamanya. Kami selalu main bentik, main kelereng, petak umpet (sekongan) sehabis shalat maghrib, main layangan, main karet, main wayang, main egrang pokoknya hampir semua mainan kita pernah bermain bersama.
Kabarnya hari ini, sungguh membuat saya pilu dan sedih. Dia tak sekolah SMP dan cukup dengan SD, dia sudah sukses (dunia), memiliki beberapa mobil dan alat-alat berat lainnya. Anak buahnya banyak, sempat saya dengar kabarnya dan ingin sekali menemuinya namun karena dia pindah rumah dan jauh maka saya belum bisa bertemu dengannya. Hingga, hari itu saya dengar kabarnya yang membuat pilu dan sedih.
Ya, Tono terbuai godaan dunia. Dia membawa kabur isteri dari saudaranya sendiri, masih saudara dari keturunan mbah yang sama. Isterinya pun dia tinggalkan dan memilih wanita haram baginya. Dia kabur, meninggalkan keluarganya sendiri serta hartanya, hanya demi memuaskan hasrat nafsunya. Hingga kini, kabarnya tak ada lagi. Entah dimana dia sekarang.
Masih ada kisah lain yang tak kalah pilu dari teman-temanku, namanya Mimi (samaran). Dia teman biasa namun akrab saat sekolah, pemalu dan pendiam saat SD. Dia sekolah hingga tamat SMA, tapi aku tak tahu dimana dia sekolah.
Yang aku tahu, kabarnya juga memilukan perasaanku ketika saya tahu kabarnya sekarang. Setelah tamat sekolah, dia bekerja keluar negeri menjadi TKI. Dia pulang, orangtuanya bangga, bahkan dia membangun rumah dengan hasil kerjanya sendiri dan membeli beberapa bidang sawah dan ladang. Nasib yang bagus, bahkan dia menikah dengan orang yang juga mantan TKI. Jadilah mereka menikah.
Bahagia yang tak lama di dunia, kabar memilukan akhirnya datang dari cerita temanku saat lebaran ini. Dia meninggal bersama suaminya yang baru menikah, kedua meninggal karena kecelakaan lalu lintas, belum lama menikah, harta yang banyak pun ditinggal, mereka meninggal bersama.
Masih ada kabar yang lainnya, ini adalah kisah temanku SD, Namanya Darsem (samaran). Ya, seperti Mimi dia temanku yang pemalu dan saya jarang berinteraksi dengannya dulu kecuali hanya sekali dua kali. Nasibnya kini menjadi pekerja menggantikan suaminya yang meninggal dunia karena kecelakaan di tempat kerja. Menjadi janda di usia muda, memiliki anak dan bekerja menjadi pengjaga ternak menggantikan suaminya yang meninggal dunia.
Lain cerita, kali ini saya bukan menceritakan teman sekelas SD, melainkan murid ngajiku yang terpaut sekitar lima tahun usianya. Sebut saja Narti (samaran), dia tetangga saya dan ibunya dekat dengan ibu saya, karena ibuku dan ibunya adalah teman dari kecil.
Saya mengajari Narti mengaji, dengan tartil dan tahsin yang bagus dia akhirnya bekerja di luar negeri menjadi TKI setelah tamat sekolah. Nasib baik tak selalu bersamanya, kabar buruk ini saya dapatkan dari ibunya sendiri yang menangis menceritakan kisah hidup Narti.
Ya, Narti mendapatkan paham Islam yang agak keras. Entah darimana dia mendapatkannya, mungkin ketika menjadi TKI. Cerita Ibunya, Narti masuk paham Islam JI, bahkan orangtuanya disebutnya sesat dan diminta untuk bertaubat dan masuk ke JI. Namanya orangtua, punya keyakinan sendiri namun tetap tak marah di sebut sesat. Hingga, si Narti menikah dengan lelaki yang dipilihkan ustadzahnya, menikah dengan segudang keganjilan menurut adat setempat.
Hingga kabar buruk datang ke Ibunya, si Narti sakit keras sehabis melahirkan anak pertamanya. Orangtua Narti menjenguknya, melihat keadaan si anak yang miris si Ibu menjual sepetak tanahnya untuk diberikan kepada menantunya untuk mengobati si Narti.
Namun, setelah beberapa hari dan hitungan sebulan lebih si Ibu menjenguk anaknya kembali karena kabarnya semakin memburuk kesehatan si Narti. Kondisi Narti sangat memprihatinkan, tulang berbalut kulit semata. Si Ibu menangis, uang yang dikirimkan dulu untuk berobat ternyata tak digunakan untuk berobat ke rumah sakit, entah kemana hilangnya. Suaminya, berangkat pagi dan pulang sore hari.
Si Ibu tak tega dan memaksa membawa pulang puteri tercintanya itu, di bawa berobat dan Rumah Sakit menyerah, karena sakitnya sudah parah dan terlalu lama tidak sedari dulu diobati. Narti meninggal dunia di rumah orangtuanya, meninggalkan seorang puteri yang lucu dan menggemaskan dan ayah kandung si bayi tak bisa merawat anaknya sendirian.
Si ibu, kehilangan anak dan menemukan cucu sebagai penggantinya. Narti, murid ngaji itu meninggal dunia di usia yang sangat belia.
Beda lagi nasib si Mandra (samaran), temanku sekolah dahulu. Dia orang yang baik terhadap teman, suka menolong dan pintar bermain kelereng hingga tak ada yang bisa menyaingi jumlah kelerang di rumahnya. Saya selalu kalah bermain dengannya.
Mandra, dia termasuk anak orang kaya di Desaku. Setelah tamat SMA, dia bekerja di Korea, pulang dengan membawa banyak uang bahkan dia dua kali PP bekerja disana. Sepulang kerja, dia membangun tokonya sendiri di pasar, dia menikah dan memiliki satu orang anak.
Lagi-lagi, masalah timbul. Dia juga meninggal dunia, terkena serangan jantung mendadak tanpa sakit sebelumnya, jadi terkesan sangat tiba-tiba diusianya 25-an tahun.
Sahabat-sahabatku, beberapa cerita yang saya sampaikan di atas adalah nyata, kalau saya hitung teman saya waktu SD satu kelas, sudah beberapa yang meninggal dunia, mereka seumuran dengan saya bahkan mereka meninggal dan menerima cobaan sudah terlewat beberapa tahun yang lalu.
Sadarlah saya, bahwa tidak selamanya buah kelapa yang tua jauh lebih dahulu ketimbang kelapa muda (cengker dan degan). Kadang, kelapa muda jatuh lebih dahulu karena pohonnya tidak normal.
Seperti takdir, dia tidak membedakan umur panjang meninggal lebih dahulu.
Jatah usia hidup manusia sudah ada, tinggal menunggu antrian, saya atau anda yang akan diambil oleh Allah terlebih dahulu.
Masalahnya, apa persiapan yang sudah kita lakukan?
Sebesar apakah kesadaran kita bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar?
Kisah hidup kita akan menjadi rumit atau tidak ke depan, bukan menjadi persoalan, yang menjadi intinya adalah seberapa dekat kita dengan Tuhan.
Qul Innamaa ana basyarum mitslukum yuuhaa ilayya annamaa ilaa hukum ilaa huwwahid. Faman kaa na yarjuu liqoo arobbihii, fal ya’mal ‘amalan Shoolihaa, walaa yusy rik bi’ibaa datirabbihii ahadaa.
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan, dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf : 110)
Not Comments Yet "Serpihan Kenangan"
Post a Comment