Saturday, 9 July 2016

Shalat tapi Tak Paham Arah Kiblat saat Bepergian?


Setiap negara memiliki petunjuk-petunjuk tersendiri untuk mengetahui arah kiblat (ka’bah). Diantaranya adalah mihrab-mihrab yang dibuat kaum muslimin di dalam masjid-masjid yang ada di sekitar kita yang menunjukkan arah kiblat dengan jelas. Lalu, bagaimana orang yang tidak mengetahui arah kiblat?

Orang yang tidak mengetahui arah kiblat misalnya karena langit sedang mendung atau karena suasana demikian gelap, ia wajib bertanya kepada orang lain yang dapat menunjukinya arah kiblat. Apabila tidak ia jumpai, atau ditempat terpencil, dia diperbolehkan berijtihad (berupaya dengan keyakinan menyimpulkan sendiri arah kiblat), lalu mengerjakan shalat menghadap arah kiblat tersebut. Hukum shalat demikian adalah sah, dan ia tidak wajib mengulanginya meskipun terbukti ia salah (dalam ijtihadnya), setelah selesai mengerjakan shalatnya.
Jika kesalahannya terlihat ketika dia sedang melakukan shalat, ia harus berputar arah untuk menuju arah kiblat yang benar dan tidak perlu memotong shalatnya (langsung meneruskannya).

Lalu, bisakah kewajiban menghadap kiblat dalam shalat gugur kewajiban? Tidak ada gugur dalam hal kewajiban shalat menghadap kiblat, kecuali kondisi-kondisi yang tidak memungkinkannya. Misalnya, (1). Orang yang shalat dalam kendaraan. Arah kiblatnya adalah arah kendaraannya, dimana posisi sujud lebih membungkuk daripada posisi rukuknya.

Amir bin Rabi’ah berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mengerjakan shalat di atas hewan tunggangannya. Beliau menghadap ke arah yang dihadap oleh hewan tunggangannya itu” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari menambahkan, “Beliau saw. mengisyaratkan (rukuk dan sujud) dengan kepalanya. Beliau tidak pernah melakukan hal demikian pada saat mengerjakan shalat fardhu.” Hal ini dilakukan Nabi saw. saat meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Ini terkati dengan ayat, “...kemana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah...” (QS. Al-Baqarah [2]: 115).

Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah cerita tentang (shalat di atas kendaraan yang dilakukan oleh) para sahabat dan tabi’in secara umum, baik dalam kondisi tidak bepergian (jauh) maupun dalam kondisi bepergian jauh. Lalu, bagaimana jika perjalanan panjang yang menghabiskan puluhan jam, atau berhari-hari? Maka, shalat fardhu bisa dilakukan di kendaraan, jika memang tidak berhenti dipemberhentian saat shalat-shalat fardhu ditunaikan. Wallahua’lam bishawab.

(2). Shalatnya orang yang dipaksa, orang yang sedang sakit, dan orang yang sedang dalam keadaan takut. Orang takut, orang yang dipaksa, orang yang sedang menderita sakit diperbolehkan mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat jika mereka benar-benar tidak dapat menghadap ke arahnya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw.,

“Apabila aku telah memerintahkan kalian, laksanakanlah  perintahku itu  semampu kalian.” (HR. Bukhari).

Juga dalam firman Allah swt., “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan...” (QS. Al-Baqarah [2]:239). Terkit dengan firman Allah tersebut, Ibnu Umar ra. menafsirkan, “Yaitu dengan menghadap kiblat atau tidak menghadapnya (diperbolehkan)” (HR. Bukhari).
Hal ini menunjukkan akan kemudahan dalam agama ini, sebagai agama yang lurus dan mengetahui fitrah serta kebutuhan-kebutuhan hamba-Nya. Dan semoga kita dapat menjadi hamba-hamba yang selalu bersyukur dengan selalu memelihara ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Yang Esa. Amin.

No comments:

Post a Comment